Kamis, 17 Februari 2011

Sirkumsisi


Sikumsisi  perempuan hy tradisi ,benarkah,,,,??

Agama Islam adalah agama hanif. Adalah agama lurus yang benar-benar dilegalkan oleh Allah Tuhan Semesta Alam. Aturan-aturan atau yurisprudensi yang terikat di dalamnya tidak hanya mengarah pada skala kecil saja. Namun, tidak pula melulu mengatur dalam skala yang besar. Kalau boleh dikatakan, agama Islam adalah agama yang universal. Agama itu juga tidak memaksakan kepada manusia untuk harus memeluknya. Terbukti, ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, dalam bersosialisasi beliau tidak sewenang-wenang memperlakukan pada orang-orang kafir untuk masuk Islam. Namun, metode ramahlah yang beliau kenalkan. Meskipun tidak ada paksaaan untuk memeluknya, tidak berarti pengikut agama itu sedikit. Justru tidak sedikit yang masuk dalam agama itu, disebabkan hatinya telah terketuk. Karena mereka merasa bahwa Islam adalah agama yang damai.

Manusia dengan segala seluk beluknya pasti dalam menanggapi Islam itu tidak sama. Secara lahiriyah, dimungkinkan salah satu faktor mereka tidak menerima Islam adalah karena mereka telah mempunyai tradisi masing-masing yang tidak sama. Seperti menyembah pepohonan, matahari, patung, dan lain sebagainya. Dengan ditambah tradisi yang sudah mendarah daging itu, semakin saja membuatnya membenci kepada Islam. Sementara dalam Islam sendiri, tradisi semacam itu tidak pernah ditemui. Mereka sulit meninggalkan tradisi itu, mungkin juga karena takut dikecam sebagai penghianat suku. Karena tradisi atau budaya itu sendiri -menurut William H. Haviland, salah satu pakar keilmuan barat- adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat. Dengan demikian, berarti tradisi bisa dikatakan sebuah tindakan yang dipandang layak menurut standar khalayak umum, dengan tanpa melirik kebenarannya dalam sudut yang lain.

Akhir-akhir ini, yurisprudensi Islam (baca: aturan atau hukum) mulai dipertanyakan oleh orang-orang tentang keberadaanya. Kalau mempertanyakan karena ingin tahu itu wajar. Namun kali ini, dalam mempertanyakannya itu karena ada unsur ragu pada yuridis yang telah dirumusankan ratusan tahun yang lalu oleh para ulama yang sudah dijamin tentang kapabilitasnya. Mereka yang meragukan itu mencoba menilik yuridis dengan wacana baru, seperti dalam masalah sirkumsisi (khitan) untuk kaum hawa. Sekarang ada yang mengatakan bahwa sirkumsisi untuk perempuan adalah sebuah tradisi, bukan anjuran dalam sebuah agama. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa sirkumsisi untuk perempuan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, alias sangat rugi sekali bagi yang telah melakukannya.

“Jika khitan (perempuan-Red.) mempunyai manfaat, maka tradisi ini dapat dilanjutkan. Dan apabila tidak ada manfaatnya, maka dapat dihentikan tanpa adanya ancaman syar’i bagi yang meninggalkannya ataupun pujian syar’i bagi yang melakukannya. Khitan untuk laki-laki diwajibkan karena menyebabkan tidak sah salatnya dikarenakan ada indikasi tersimpannya najis yang berada di alat kelaminnya yang belum dipotong. Walaupun najis yang berada pada alat kelamin laki-laki masih diperdebatkan, apakah termasuk bagian dalam, seperti kotoran yang masih berada di dalam perut atau bagian luar,” demikian paparan salah seorang yang mengatakan bahwa sirkumsisi atau sunat bagi kaum Hawa merupakan tradisi.

Hal demikian ini tentunya akan mengundang kegemparan. Dan yang pasti akan ada pro dan kontra dalam menanggapi probematika ini. Yang pro akan mengajukan beberapa argumennya sesuai dengan keinginannya. Begitu juga sebaliknya. Dan mestinya, akan banyak pula hujatan-hujatan yang bertubi-tubi untuk masing-masing kelompok yang menyatakan ideologinya itu.

Sebenarnya, dalam permasalahan sirkumsisi (laki-laki dan perempuan) ini sudah lama sekali didiskusikan dalam turats. Satu pendapat mengatakan, bahwa sirkumsisi merupakan kesunahan, dan yang lain mengatakan sirkumsisi adalah wajib. Beliau-beliau para ulama -walaupun masih pro dan kontra- tidak ada satupun yang mengeluarkan statemen bahwa sirkumsisi merupakan tradisi atau budaya setempat. Di antara ulama yang mengatakan bahwa sirkumsisi adalah kewajiban adalah Imam Syafi’i, salah satu ulama terkemuka yang menjadi barometer dalam bermadzhab. Beliau mengemukakan bahwa sirkumsisi adalah sebuah kewajiban yang berlaku untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Dan itupun didukung dengan tendensi atau dalil syar’i. Diantara dalil syar’i yang menjustifikasikan sirkumsisi atau khitan merupakan sebuah keharusan adalah firman Allah Swt yang berberbunyi, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama (ajaran) Ibrahim seorang yang hanif…” (QS. An Nahl: 123). Sekilas ayat ini melukiskan bahwa Nabi Ibrahim as. memang mempunyai ajaran dari Allah Swt. Dan diantara ajaran beliau adalah khitan. Sebagaimana yang diriwayatkan sahabat Nabi, Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw Pernah bersabda, “Nabi Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.” Sementara yang mengatakan sunah berpijak pada hadis Nabi yang juga diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra., bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Lima hal yang termasuk fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu alat kelamin, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]

Kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi bagi perempuan sangat merugikan itu berpendapat, bahwa ketika terjadi female genital mutilation (pemotongan sebagian alat kelamin perempuan) maka akan merusak alat kelaminnya. Sehingga, dari ideologi ini membuat semua pihak pakar medis merasa tidak perlu adanya sirkumsisi untuk kaum female. Padahal, tidaklah demikian adanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa dulu Nabi pernah memerintahkan seorang perempuan yang ahli dalam hal penyunatan untuk tidak ceroboh dalam menyunat. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi Saw bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang sirkumsisi): “Apabila engkau mengkhitan seorang perempuan, maka potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.” [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291]. Memang, dalam sirkumsisi perempuan terjadi beberapa praktek di kalangan medis. Namun, tidak perlu penulis jelaskan lebih mendetail. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi dalam sirkumsisi itu adalah, sirkumsisi itu hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Imam Mawardi, salah satu ulama dari kalangan Syafi’i, berpendapat, bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas alat kelamin perempuan. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut, bukan menghilangkannya secara keseluruhan.

Bagi kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi tidak ada manfaat yang bisa dipetik, mungkin terlebih dahulu menilik hikmah-hikmah yang tersirat dalam praktek sirkumsisi itu sendiri. Salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga, Jogja, H. Akmal Abdul Munir Lc.Ma dalam makalahnya memaparkan, bahwa ada beberapa hikmah dari sirkumsisi bagi seorang perempuan. “Sirkumsisi pada wanita yang dilakukan secara benar justru bermanfaat untuk kehidupan seksual wanita yang bersangkutan. Pertaman, membuat lebih bersih dan lebih mudah menerima rangsangan. Kedua, sirkumsisi dapat membawa kesempurnaan agama, karena ia disunahkan (bagi yang mengatakan sirkumsisi adalah sunnah-Red.). ketiga, sirkumsisi adalah cara sehat yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit. Keempat, sirkumsisi membawa kebersihan, keindahan, dan meluruskan syahwat,” demikian beliau memaparkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hikmah sirkumsisi bagi laki-laki adalah mensucikan mereka dari najis yang tertahan pada kulup kemaluan. Sedangkan hikmah sirkumsisi bagi wanita adalah untuk menyederhanakan syahwatnya, sesungguhnya kalau wanita tidak disirkumsisi maka syahwatnya akan menggejolak.” [Fatawa Al-Kubra, I/273].

Jadi, dalam masalah sirkumsisi atau khitan bagi perempuan itu bukanlah sebuah tradisi. Memang benar-benar anjuran dari agama dan bisa dipertanggungjawabkan tentang keberadaan dalilnya. Dan tentunya, ada manfaat yang terkandung didalamnya. Ulama dahulu itu dalam mematwakan sebuah hukum, tentu melalui tinjauan dan pertimbangan yang matang terlebih dahulu. Tidak hanya sekilas memahami lantas mematwakan. Wallahu A’lam…

Sirkumsisi atau sunat sudah dilakukan sejak jaman pra sejarah (Journal of Men’s Studies, Amerika Serikat). Sirkumsisi juga diharuskan dalam agama, misalnya Islam dan Yahudi. Bahkan pada awalnya para pendeta Kristenpun diharuskan sunat


Ada 3 alasan utama orang menjalani sirkumsisi :
1. Karena indikasi medis.
2. Tindakan pencegahan penyakit (untuk masa depan).
3. Alasan agama/keyakinan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar